Ketia pikiran kita terasa resah kita binggung apa yang harus kita lakukan

Veni, Vidi, Vici (Saya datang, saya melihat, saya menang)

Kamis, 15 Juli 2010

DAYAK EMBALOH SEBELUM KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA Kisah menarik dari seorang Imam

oleh; Silvester

Seorang imam yang hidup diantara Dayak Embaloh, Desa-desa mereka masih dinamakan “rumah panjang”. tidak sebagaimana di daerah lain yang menumbuk padi di daerah yang luas.
Bagi masyarakat Dayak Embaloh, pekerjaan itu dilakukan pada bangunan-bangunan di samping. Kampung Keram, adalah salah satu kampung yang letaknya berdekatan dengan Benua Martinus.
Rumah panjang itu masih merupakan bangunan tua, dan acap kali mendapat serangan dari musuh yakni dari Dayak Iban. Jalan masuk kerumah itu bukan dari depan melainkan dari belakang atau serambi samping bawah rumah, sebagai mana juga halnya dengan rumah-rumah panjang yang lain. Hal ini sebagai proteksi atas serangan musuh secara tiba-tiba, sebab dengan demikan sumpit dan panah bisa diarahkan lewat lantai. Jangan heran, disana juga ada lobang-lobang jebakan yang tak terlihat yang sengaja dibuat dan dipasang memasuki rumah panjang.

Dayak Embaloh dikenal terampil dalam hal mengelola dan menanam padi di ladang yang kering. Mereka juga memiliki lahan pertanian (tegalan) di tepi-tepi sungai. Bila suatu ketika terjadi panen padi gagal , bisa dibayangkan bahwa Dayak Embaloh tidak perlu memikirkannya sebab mereka masih mempunyai persedian padi di lumbung mereka. Singkat kata, Dayak Embaloh adalah pekerja yang ulet yang pernah kukenal. Lebih-lebih wanitanya yang umumnya memiliki postur tubuh yang kuat dan sintal, mereka dikenal mahir berladang, mencabut rumput, dikumpulkan dalam satu wadah (seruwongkh) yang berguna sebagi pupuk untuk berbagai jenis tanaman, terutama pisang.


Pohon Aren (Vrije Vertaling)

Di daerah Embaloh tumbuh banyak pohon aren yang jika disadap airnya menjadi minuman keras, yang biasa dikenal dengan nama tuak. Pada dahan pohon aren yang berbunga, dibuat semacam dapur dari ketinggian 12-13 meter dari tanah, yang juga dibuat tempat duduk untuk 2 sampai 3 orang. Cairan aren dibiarkan sampai meragi,berbuih dan bisa langsung diminum di tempatnya. Hanya di situlah saya (imam) menemukan para peminum dan para pegemar alkohol. Pernah terjadi suatu saat, di pagi hari sudah ada orang mabuk, kepalanya menjadi pusing selesai minum air aren du atas pohon, dan iapun terjatuh kebawah, ungkap Pr. Herman Van Houlten

Jika Dayak Embaloh mengambil sadapan air pohon enau hanya untuk minuman, akan tetapi lain halnya dengan orang Melayu (Islam) di dekatnya, mereka membuatnya menjadi gula merah. Dan bagi mereka yang tidak menyuka minuman alcohol, gula merah itu merupakan sesuatu yang enak juga. Jika air nira didalam kuali atau periuk yang di masak dibiarkan sampai hangus sedikit hingga gulanya mengeras, maka menjadi makanan yang lezat. Jangankan anak-anak, bahkan saya sediripun amat menyukainya. Timpalnya.
Kampung Melayu itu mempunyai nama yang bagus, yakni Singkwan Kuning, yang juga menjadi nama pohon di tepi sungai yang mencolok pandangan dengan daun-daun berwarna kuning keemasan.

Kerajaan

Di setiap komunitas atau perkampungan Suku Dayak pastilah terdapat seseorang pemberani untuk melindungi komunitasnya yang disebut dengan Kepala Suku, namun wilayah tersebut bukan berarti kerajaan karena Dayak secara umum tidak pernah mengenal kerajaan. Akan tetapi Suku Embaloh mempunyai semacam kerajaan mereka juga memiliki semacam Kasta, dan sebagai konsekunsinya, anak Raja pun harus menikah dengan anak Raja.

Raja Mangkat

Jika Seorang Raja Mangkat/meninggal, ada tata cara penguburan sendiri. Saya (imam) pernah menyaksikan upacara penguburan itu. Caranya adalah Jenasah diletakkan dalam sebuah peti kayu besar, ditutup rapat-rapat dengan getah dammar, dibiarkan selama seminggu. Setiap malam semua orang dipanggil untuk berkumpul dengan dengan cara menabuh gong besar dan bersuara nyaring sebagai pertanda sebuah upacara.

Saya (imam) juga pernah mengalami malam seperti itu, suatu ketika kelompok wanita dengan rambut yang terurai menari. Tarian indah yang mereka lakukan itu bermaksud untuk mengiringi roh dalam perjalanannya menuju ke Gunung Suci Tilung. Gungung ini bentuknya sangat terjal yang diyakini dan dianggap sebagai tempat tinggal terakhir bagi para arwah yang meninggal. Dan menurut ceritanya bahwa nenek moyang mereka pada zaman dahulu kalapun berasal dari gunung tersebut.
Perjalanan menuju gunung terungkap dengan jelas dalam tarian, dimana penarinya seakan-akan mendayung di sungai dan nain turun bukit. Perjalalanan di lakukan melalui daratan sampai akhirnya sampai digunung suci. Tarian ini disertai dengan bunyi gong yang nyaring dan disertai minum tuak. Maka tidak mengherankan jika upacara pemakaman seorang raja menghabiskan banyak biaya, di samping memotong sejumlah ternak, juga memotong sejumlah babi dan ayam. Gunung suci tersebut terletak di tepian Sungai Mendalam dan bisa dicapai melalui Putussibau. Kira-kira sebelah utara sungai Mendalam, terdapat kampung yang di kenal dengan nama Tanjung Karang dan Tanjung Kuda, di mana Nieuwenhuis mengambil para pengikutnya untuk perjalanan melintasi pulau Kalimantan pada tahun 1894.

Kedua kampung itu amat bersejarah, sebab dari sanalah lahir orang-orang terkenal seperti J.C. Oevang Oeray, Gubernur Kalimantan Barat pertama dari Suku Dayak serta keponakannya, Aloysius Ding,
Aloysius Ding adalah imam Dayak yang pertama. Mereka adalah orang-orang pertama bagi Gereja dan tanah air yang semula memenang berasal dari pedalaman, kira-kira 1000 kilometer dari ibu kota Pontianak. Di samping Gubernur dan Imam orang Dayak yang pertama masih adalagi orang penting yang berasal dari sini, misalnya Djelani dan Palaoensoeka.
Seusai Perang Dunia II, Oevang Oeray dan Palaoensoeka dan teman temannya mendirikan salah satu Partai Politik yang dikenal dengan Partai Dayak dengan tujuan untuk meningkatkan kemajuan dan persatuan di kalangan masyrakat Dayak Kalimantan. Namum sayang, oleh Presiden Soekarno partai itu dilarang karena dianggap kurang Nasinal, sehingga Oevang Oeray beralih kepada partai yang bersimpati kepada komunis, yaitu Oarkindo, sedangkan Palaoensoeka memilih partai Katolik, ia mendapat jabatan tinggi di Jakarta, malah terpilih menjadi anggota DPR.






1 komentar:

Unknown mengatakan...

salah satu sejarah yg tidak terdokumentasi ... mantaff kang ...

Care Indonesia
























ekasasri